Sejarah Public Speaking
Sejarah Public
Speaking
Menurut David Zarefsky dalam bukunya yang berjudul Rhetorical Perspectives on Argumentation : “Public
speaking is a continuous communication process in which messages and signals
circulate back and forth between speaker and listeners.” Atau dapat dikatakan
Public Speaking adalah proses keberlanjutan komunikasi melalui pesan dan sinyal
yang terus berinteraksi antara pembicara dan pendengarnya. Walaupun kita atidak
dapat menemukan kata Public Speaking didalam KBBI namun kata Public Speaking
dapat diartikan secara harfiah melalui dua kata yaitu kata Public atau Umum dan
Speaking yang berarti Berbicara, dapat disimpulkan bahwa Public Speaking adalah
berbicara didepan umum. Public Speaking juga diartikan sebagai sebuah
keterampilang untuk berbicara didepan umum kepada sekelompok besar orang.
·
Sejarah Public
Speaking
Kegiatan atau aktivitas Public speaking bukanlah sebuah
hal yang baru di dunia modern ini. Berdasarkan sejarah bahwa Public speaking
sudah ada sejak zaman yunani kuno yaitu dilihat dari tradisi politik yunani.
Seni atau keahlian dalam berbicara didepan umum ini dinamakan sebagai retorika.
Dari bahasa yunani bahwa rhetorikos adalah “pidato” diserap dari kata Rhetor
yang artinya “Pembicara Publik”.
Sekitar 2.500 tahun lalu di athena kuno, para pemuda
diminta untuk memberikan pidato yang efektif sebagai tugas mereka menjadi
bagian warga negara. Ada 3 periode dalam yunani kuno mengajarkan filsafat dan
retorika, Socrates (c.468-3998 SM), Plato ( 427-347 SM), dan Aristoteles (
384-322 SM ).
Ketika Demokrasi masih berkembang pada zaman Yunani kuno
bahwa semua warga mesti pandai berbicara dan bersaksi didalam pengadilan. Para
warga biasa berkumpul di sidang besar yang berada di pasar atau biasa disebut
agora untuk membahas isu-isu tentang ekonomi dan politik. Lalu pengadilan
rakyat yang berada di solon sekitar 594-593 SM, para warga bisa membawa
keluhan-keluhan mereka untuk dipedebatkan di pengadilan rakyat. Saat itu belum
ada pengacara dan pula tiap orang saling menggugat satu sama lain, oleh sebab
itu penting bagi seluruh warga untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
baik untuk dirinya dan keluarganya.
Pada Zaman tersebut ada banyak tokoh-tokoh yang terkenal
pandai berbicara atau pandai dalam beretorika seperti Georgias, Plato, dan
Aristoteles.
1.
Georgias dan Protagoras
Untuk pertama kalinya Georgias dan Protagoras mendirikan
sekolah retorika. Georgias melihat peluang yang besar untuk memenuhi kebutuhan
pasar, banyak sebuah pekerjaan yang membutuhkan ahli dalam bidang retorika.
Dikarenakan pada saat itu bahwa Seluruh masyarakat Athena butuh orang-orang
yang dapat berbicara secara jelas dan persuasif. Negara Athena yang saat itu
sedang tumbuh berkembang dan menjadi negara yang kaya raya dan demokratis.
Mereka memberikan ruang untuk bebas dalam menyatakan pendapat. Dalam menyatakan
pendapat pentingnya untuk berpikir secara logis dan jernih. Georgias dan
Protagoras mengajarkan hal-hal yang bersifat teknis dalam bidang retorika
seperti Teknik memanipulasi emosi, dan menggunakan prasangka untuk meyakinkan
para pendengar ketika sedang berbicara. Teknik tersebut menekankan dengan gaya
bahasa yang begitu puitis. Sehingga didalam sekolah tersebut mereka menyebut
diri mereka sebagai kelompok sophistic sebagai “Guru kebijaksaan”. Dan disaat
itulah muncul sebuah kompetisi adu pidato yang juga memunculkan tokoh yang
hebat dalam berpidato seperti Demosthenes dan socrates.
2.
Demosthenes dan socrates
Georgias yang lebih menekankan gaya bahasa yang puitis
dan berbunga-bunga membuat perbedaan dengan gaya bahasa yang diciptakan oleh
Demosthenes yang terkenal dengan Retorika yang jelas dan lugas. Penggabungan
antara narasi dan argumentasi. Dan juga Demosthenes sangat memperhatikan cara
penyampaian terhadap khalayak umum. Socrates berpendapat bahwa Retorika tidak
dapat dipisahkan oleh Unsur Politik dan Unsur Sastra. Lalu Socrates juga
mendirikan sebuah sekolah retorika. Sehingga ia dapat mengajarkan tentang
bagaimana menggunakan kata-kata dalam susunan yang terstruktur dan tidak
melebih-lebihkan arti dari suatu kalimat sehingga menciptakan kalimat yang
seimbang
3.
Plato dan Socrates
Socrates menentang para kaum sophis dengan menyebut
mereka sebagai kaum prostitutor karena menjual kecantikan dalam beretorika demi
sebuah uang. Salah satu ahli retorika terkenal yaitu Plato. Ia adalah murid
dari Socrates. Lalu Socrates memberitahu muridnya tersebut bahwa Georgias
adalah contoh retorika yang palsu karena berdasarkan pada sophisme. Sedangkan
Socrates meyebut dirinya sendiri sebagai retorika yang benar karena berdasarkan
pada ilmu filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif dan filsafat
membawa orang-orang kepada pengetahuan yang sebenarnya. Lalu Plato menganjurkan
para pembicara menenal jiwa para pendengarnya. Dari hal inilah Plato mletakkan
dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Socrates mengubah retorika
sebagai sekumpulan teknik-teknik menjadi wacana ilmiah.
4.
Aristoteles
Aristoteles
mengajarkan Retorika bahwa orang-orang haru berkata secara Jelas, Singkat, dan
Meyakinkan.
Pandangan
Aristoteles tertuang pada 3 buah buku, bukunya yang pertama membahas tentang
pembicara, sebuah hal yang mesti dilakukan para pembicara dalam retorika,
terutama menyangkut kepada hal kredibilitas pembicara. Lalu, buku kedua
membahas tentang public yang dipercayai Aristoteles sebagai unsur yang penting
dalam retorika. Publiklah yang akan menentukan sebuah keberhasilan retorika. Buku
ketiga menyangkut bagaimana hadir dalam retorika, apa yang mesti terjadi dalam
proses retorika tersebut. Buku-buku tersebut merupakan kumpulan-kumpulan materi
yang digunakan sebagai materi kuliah yang diberikan di Akademi Plato. Karena
buku-buku yang dibuat oleh Aristoteles tidak diniatkan untuk terbit sehingga buku-buku
yang diciptakan Aristoteles tidak tersusun dengan baik. Namun sampai sekarang
ketiga buku tersebut tepat dipelajari para ahli public speaking dan dianggap
sebagai referensi public speaking yang paling berpengaruh sepanjang jaman.
Ada
dua asumsi dasar dalam teori Retorika yang diajukan Aristoteles. Pertama,
Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan publik mereka. Pembicara harus
berorientasi pada Publik, bahwa Publik adalah individu yang memiliki motivasi,
keputusan, pilihan tersendiri, bukan sebagai sebuah entitas homogen. Jadi
Pembicara perlu menyesuaikan cara penyampaian sesuai kondisi publik mereka
supaya publik merespons sesuai harapan pembicara. Bagi Aristoteles, publik
adalah elemen retorika yang paling menentukan kesuksesan retorika, bukan elemen
pembicara dan isi dari sebuah pembicaraan. Kedua, Pembicara yang efektif
memanfaatkan beragam cara pembuktian dalam presentasi mereka. Aristoteles
percaya bahwa retorika harus berisi
bukti-bukti
agar dapat diterima oleh publik. Terdapat 3 pembuktian yang dipakai dalam
retorika :
1.
Logos atau logika.
Pembuktian logika berisi argumen-argumen yang masuk akal, yang didapat dari
penyimpulan fakta-fakta yang ada.
2. Ethos atau Etika.
Retorika tidak cukup bila hanya berisi argumenargumen logika. Pembicara juga
harus terlihat memiliki kredibilitas. Kesan pertama publik terhadap pembicara
tidak dimulai saat ia berbicara pertama kali, melainkan sebelumnya. Pembicara
yang terlihat meyakinkan, memiliki kredibilitas, membuat efek argumen retorika
semakin kuat.
3. Pathos atau emosi.
Retorika akan memiliki daya menggerakkan publik bila mampu menggugah emosi
publik. Aristoteles mengenali bahwa orang akan menilai atau bertindak dengan
cara berbeda saat dalam kondisi emosi duka dibanding saat bahagia. Saat kita
senang kita akan menilai orang yang sedang diadili di pengadilan sebagai orang
yang kejahatannya ringan atau tidak bersalah sama sekali.
Aristoteles mengidentifikasi
beberapa emosi yang bisa dimanfaatkan dalam retorika, antara lain (Griffin,
2003: 309):
1. Kemarahan
2. Cinta
3. Ketakutan
4. Rasa Malu
5. Kejengkelan
6. Kekaguman
· Menurut Aristoteles
Cara-cara pembuktian tersebut dapat dimanfaatkan dalam berbagai situasi. Pertama,
forensik atau yudisial, menyangkut kepentingan untuk menentukan benar atau
salahnya suatu hal yang terjadi pada masa lalu. Sesuai dengan namanya, situasi
retorika ini banyak dijumpai dalam pengadilan. Tipe kedua adalah deliberative
atau politik menyangkut kepentingan untuk menentukan apakah suatu hal harus
dilakukan atau tidak perlu dilakukan demi masa depan. Situasi kedua lebih
banyak kita temukan dalam pertemuan politik. Sedang tipe ketiga adalah
epideitik atau seremoni menyangkut pujian atau kecaman mengenai hal yang
terjadi sekarang. Situasi ketiga banyak ditemukan dalam upacara atau acara
sosial.
·
LIMA HUKUM DALAM
RETORIKA
Hasil
karya-karya tulisan Aristoteles menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di
Yunani dan membawa pengaruh besar bagi para pembicara di depan publik pada masa
tersebut. Pada saat Romawi menguasai Yunani, pemikiran para guru dan filsuf
Yunani diadopsi oleh Romawi. Salah satu yang orator Yunani yang kemudian
menjadi orator Romawi yang paling terkenal adalah Cicero (106-43 SM). Ia
berusaha memopulerkan retorika dengan menerjemahkan Public Speaking. berbagai
tulisan tentang retorika dalam bahasa Yunani ke bahasa Latin (yang dipakai
Romawi).
Cicero
merumuskan lima hukum retorika (the five canons of rhetoric) yang ia ajarkan di
sekolah miliknya. Selama berabad-abad kelima hukum tersebut menjadi landasan
instruksional penyusunan retorika, bahkan sampai saat ini. Kelima hukum
tersebut terdiri dari:
1.
Penemuan (inventio).
Istilah yang dipakai ini dapat membingungkan karena memiliki arti berbeda
dengan kata invensi/temuan yang kita kenal dalam ilmu pengetahuan. Bagi Cicero
penemuan merupakan tahap menggali topik dan merumuskan tujuan yang sesuai
dengan kebutuhan publik.
2.
Pengaturan/penyusunan
(dispositio). Kita mesti menyusun argumentasi yang sederhana. Pertama dengan
menyebutkan subyek argumen kita dan kedua dengan memberikan bukti-bukti yang
mendukung argumen tersebut.
3. Gaya (elucutio).
Hukum retorika yang satu ini menyangkut pemilihan bahasa yang dipakai, termasuk
istilah yang dipakai serta kepantasan berbahasa. Bila seorang pembicara mesti berbicara
di depan remaja, pembicara dapat menggunakan bahasa pergaulan para remaja
tersebut untuk menciptakan kedekatan dengan publik.
4. Ingatan (memoria).
Aristoteles berpendapat bahwa Pembicara harus hafal pesan yang disampaikannya.
Hal ini tidak lagi begitu relevan pada masa sekarang karena sering kali para
pembicara dapat menggunakan alat bantu seperti catatan atau powerpoint. Namun
hukum tentang ingatan dalam retorika pada masa ini dapat mengacu pada keharusan
bagi pembicara memiliki ingatan/pengetahuan tentang subjek atau materi yang
disampaikan.
5. Penyampaian
(pronuntiatio) mengacu pada presentasi materi retorika secara nonverbal.
Penyampaian menyangkut perilaku pembicara, termasuk kontak mata, mimik wajah,
naik-turun nada suara, cepat lambatnya dalam berbicara, dan sebagainya.
Penyampaian harus terasa alami. Bila dibuat-buat atau dimanipulasi justru pesan
public speaking tidak akan meyakinkan publiknya.
Jadi
Pada kesimpulannya bahwa Public Speaking dapat dikatakan Seni dalam Berbicara. Bahwa
dalam Berbicara didepan umum bukan suatu hal yang dapat diaktakan sangat mudah.
Namun bisa menjadi mudah apabila para pembicara dapat mempersiapkan dengan
matang dan mengetahui teknik dalam berbicara seperti para ahli retorika dari
Yunani sehingga apa yang menjadi dasar dalam beretorika sangat penting untuk
dapat dipelajari.
Referensi :
Lipson, C.S., Binkley, R.A. (2004). Rhetoric Before and Beyond The Greeks. Albany: State University of New York Press.
Lucas, S.E. (2007). The Art of Public Speaking, 9th ed. NY: The McGrawHill Companies, Inc
Rajiyem (2005). Sejarah & Perkembangan Retorika,Jurnal: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
David Zarefsky (2014). Rhetorical Perspectives on Argumentation: Selected Essays by David Zarefsky. Springer International Publishing
Komentar
Posting Komentar